Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat

Oleh: Fahriza Riswan Nasrulloh

Di era reformasi ini, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, khususnya bidang agama. Agama jangan diisolasi dari persoalan public. Sekarang orang miskin makin banyak, namun yang naik haji juga banyak. Ini karena agama kurang dikontekstualisasikan dan dijadikan solusi atas berbagai masalah social, jadi kurang adanya pembahasan tentang tanggung jawab sosial umat beragama. Kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga di antara sesama anak bangsa. Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, mengganti kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat berbagi. Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energy positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.

Manusia adalah makhluk sosial. Ia membutuhkan keberadaan manusia yang lain. Dengan demikian, interaksi menjadi sebuah keniscayaan. Interaksi antar manusia, kelompok, atau antarnegara tidak terlepas dari kepentingan, penguasaan, permusuhan, bahkan penindasan. Manusia merupakan makhluk konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dengan adanya potensi konflik dalam diri setiap manusia, maka diperlukan kemampuan memanage perbedaan sehingga tidak mengakibatkan tindakan-tindakan yang anarkis dan destruktif.

Implementasi Toleransi dalam Masyarakat Indonesia

Berdasarkan kajian atas ayat Alquran dan hadis nabi berkenaan tentang konsep toleransi dalam Islam, dirumuskan tiga nilai dasar yaitu al-hurriyah al-dîniyyah (kebebasan beragama), al-insaniyyah (kemanusiaan), dan al-washatiyyah (moderat). Ketiga nilai toleransi Islam tersebut dipergunakan untuk model implementasi toleransi di masyarakat Indonesia. 

Pertama, implementasi al-hurriyah al-dîniyyah (kebebasan beragama). Kebebasan beragama merupakan hak yang dimiliki setiap manusia yang paling asasi. Dalam prinsip maqhâshid al-syarîah, hifdzu al-dîn (menjaga agama) disebut sebagai asas pertama dalam tujuan penyari’atan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia dan dijamin pelaksanaannya oleh negara. Pasal 29 ayat 232 disebutkan: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Terwujudnya kebebasan beragama merupakan syarat utama dalam membina kehidupan yang toleran dan harmonis antarsesama. Kebebasan beragama meliputi kebebasan untuk meyakini dan menjalankan prinsip agamanya dengan aman dan tanpa intimidasi. Ketiadaan kebebasan beragama dalam kehidupan akan mengantarkan masyarakat kepada terjadinya konflik sosial.

Faktanya, implementasi kebebasan beragama di Indonesia belum begitu menggembirakan. Masih banyak didapati konflik-konflik horizontal diantara masyarakat, baik konflik internal umat Islam maupun konflik antar pemeluk agama. Konflik yang paling hangat yaitu antara pengikut aliran Syi’ah dan Ahlusunnah, serta persekusi terhadap jama’ah Ahmadiyah. Sedangkan konflik antar pemeluk agama lebih banyak antara umat Islam dan Kristen. Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh the Wahid Institute tahun 2013 tentang “Kebebasan Beragama” menyebut sepanjang Januari-Desember 2013 terdapat sebanyak 245 kasus atau peristiwa intoleransi. Dari intimidasi, penyesatan, pelarangan, hingga serangan fisik. Tahun 2012, kasusnya berjumlah 278 pelanggaran. Sedangkan pada tiga tahun sebelumnya berturut-turut sebanyak 121 (2009), 184 (2010), dan 267 (2011).33 Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno, pada tahun 90-an ada sekitar 600 gereja yang dirusak. Selain itu juga terdapat serangan-serangan terhadap gereja-gereja di Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, dan juga di wilayah lainnya. Munculnya konflik bisa jadi disebabkan problem komunikasi. Banyak kasus konflik terjadi hanya dikarenakan adanya problem komunikasi. Misalnya pendirian tempat ibadah dan pelaksanaan ritual keagamaan di suatu tempat yang bisa jadi membuat tidak nyaman masyarakat sekitarnya. Dengan berdialog dapat menghilangkan hambatan komunikasi, serta ditemukannya solusi yang mutual understading (saling pengertian).

Kedua, implementasi al-insâniyyah (kemanusiaan). Agama Islam datang membawa visi kemanusiaan. Visi Islam tentang kemanusiaan universal terlihat dari tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw. seperti yang disampaikan dalam Surah al-Anbiya ayat 21 yaitu wa ma arsalnâka illa rahmatan lil ‘âlamin (tidaklah Aku mengutusmu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam). Kerahmatan yang diberikan bukan hanya terbatas kepada umat Islam, tetapi juga kepada seluruh penduduk di alam semesta. Agama merupakan aspek transenden yang mengajarkan tentang nilai moralitas yang tinggi untuk mengatur kehidupan manusia. Agama mengatur kehidupan antar manusia dalam figura humanitas. Mementingkan manusia merupakan inti dari ajaran Islam. Oleh karena itu, di dalam teks Islam secara ontologis mengajarkan tentang humanitas yang rahmatan lil alamin.

Ketiga, implementasi al-washathiyyah (moderatisme). Sikap dan perilaku intoleransi berhubungan erat dengan nalar epistemologi seseorang. Jika diidentifikasi beberapa aksi anarkisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia, memiliki tipologi yang hampir serupa, yaitu berakar pada ideologi radikalisme. Radikalisme, anarkisme, dan terorisme merupakan tiga hal yang saling berhubungan erat. Ketiganya juga merupakan sumber masalah munculnya intoleransi. Maka untuk mencegah paham tersebut, perlu selalu dikampanyekan tentang pentingnya Islam moderat.


Referensi
Dibyorini, MC.Candra Rusmala. 2005. “Solidaritas Sosial dalam kemajemukan Masyarakat Indonesia”, Artikel dalam jurnal Ilmu Sosial Alternatif, Volume VI, Nomor 12, Desember 2005, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”.

Misrawi, Zuhairi. 2008. “Toleransi Sebagai Kuasa Nilai”, Kompas 24 Mei. Jurnal Madaniyah, Volume 9 Nomor 2 Edisi Agustus 2019 ISSN (printed) : 2086-3462 Moh.

Fuad Al Amin M. Rosyidi, Konsep Toleransi dalam ISSN (online) : 2548-6993 Islam dalam Implementasinya di Masyarakat Indonesia


Editor: Guntur Wicaksono 

Posting Komentar untuk "Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat"